Istana Matan-Tanjungpura Tahun 1977
Latar Belakang
Kerajaan
Matan yang sekarang berada di Ketapang, Kalimantan Barat, merupakan
bagian dari jajaran kerajaan Melayu yang terdapat di Pulau Kalimantan.
Sejarah dan asal-usul Kerajaan Matan sendiri cukup rumit karena kerajaan
ini merupakan kelanjutan riwayat dari Kerajaan Tanjungpura yang
kemudian melahirkan dua kerajaan turunan, yaitu Kerajaan Sukadana dan
Kerajaan Matan. Oleh karena dilanda konflik internal yang berujung pada
perebutan kekuasaan, Kerajaan Matan kemudian terbagi menjadi dua, yakni
Kerajaan Simpang-Matan dan Kerajaan Kayong-Matan. Di sisi lain, Kerajaan
Sukadana, sebagai penerus pertama Kerajaan Tanjungpura, masih tetap
eksis di samping geliat dua kerajaan pecahan Kerajaan Matan tersebut.
Kerajaan Tanjungpura sendiri pada awalnya merupakan kerajaan yang
didirikan oleh Brawijaya yang berasal dari Kerajaan Majapahit di Jawa.
Pada masa Brawijaya, Kerajaan Tanjungpura sempat menjadi kerajaan besar
pada zaman Hindu-Buddha di bumi Borneo.
Kerajaan
Tanjungpura mengalami masa keemasan pada sekitar abad ke-14. Kerajaan
ini adalah kerajaan tertua di Tanah Kayong. Nama Tanah Kayong digunakan
untuk menyebut Ketapang yang terkenal sebagai tanah asal orang-orang
sakti. Dari riwayat sejarah Kerajaan Tanjungpura inilah asal-usul
peradaban Kerajaan Matan turut tergurat. Sumber yang menyatakan tentang
keberadaan Kerajaan Tanjungpura dapat dibaca dalam Negarakertagama karangan
Mpu Prapanca pada masa Kertanegara (1268—1292) dari Singosari dan pada
masa Kerajaan Majapahit dengan Sumpah Palapa Patih Mangkubumi Gajah Mada
(Gusti Mhd. Mulia [ed.], 2007:1).
Ibukota
Kerajaan Tanjungpura beberapa kali mengalami perpindahan dari satu
tempat ke tempat lainnya. Beberapa penyebab Kerajaan Tanjungpura
berpindah ibukota adalah terutama karena serangan dari kawanan perompak
(bajak laut) atau dikenal sebagai “Lanon”. Konon, di masa itu
sepak-terjang gerombolan “Lanon” sangat kejam dan meresahkan penduduk.
Kerajaan Tanjungpura sering beralih pusat pemerintahan adalah demi
mempertahankan diri karena sering mendapat serangan dari kerajaan lain.
Kerap berpindah-pindahnya ibukota Kerajaan Tanjungpura dibuktikan dengan
adanya situs sejarah yang ditemukan di bekas ibukota-ibukota kerajaan
tersebut.
Negeri
Baru di Ketapang merupakan salah satu tempat yang pernah dijadikan
pusat pemerintahan Kerajaan Tanjungpura. Dari Negeri Baru, ibukota
Kerajaan Tanjungpura berpindah ke Sukadana. Pada masa pemerintahan
Sultan Muhammad Zainuddin (1665−1724), pusat istana bergeser lagi, kali
ini ditempatkan di daerah Sungai Matan (Ansar Rahman, tt:110). Dari
sinilah riwayat Kerajaan Matan dimulai. Seorang penulis Belanda menyebut
wilayah itu sebagai Kerajaan Matan, kendati sesungguhnya nama kerajaan
tersebut pada waktu itu masih bernama Kerajaan Tanjungpura (Mulia [ed.],
2007:5). Pusat pemerintahan kerajaan ini kemudian berpindah lagi yakni
pada 1637 di wilayah Indra Laya. Indra Laya adalah nama dari suatu
tempat di tepian Sungai Puye, anak Sungai Pawan. Kerajaan Tanjungpura
kembali beringsut ke Kartapura, kemudian ke Desa Tanjungpura, dan
terakhir pindah lagi ke Muliakerta di mana Keraton Muhammad Saunan
sekarang berdiri.
Setelah raja pendiri kota
Kerajaan Tanjungpura wafat dan dimakamkan di Kota Tanjungpura ,
pemerintahannya dilanjutkan oleh Pangerang Perdana Menteri ( Pangeran
Jaya Anom ) ( 1833 – 1845 ). Tahun 1845, sebagai Pengganti Pangeran,
Perdana Menteri dinobatkanlah Haji Muhammad Sabran. Panembahan ini
pulalah memindahkan pusat pemerintahannya ke Mulia Kerta ( 1876 )
Padanya diberkahi 3 putra dengan nama masing – masing :
_ Gusti Solihin
Bergelar PANGERAN BENDAHARA
_ Uti Mukhsin
Bergelar PANGERAN LAKSAMANA
_ Gusti Busrah
Bergelar PANGERAN RATU
Semasa
hidupnya, Penembahan Haji Sabran, telah ditunjuk beliau putera mahkota
GUSTI BUSRAH sebagai gantinya. Tetapi sayang, sebelum naik tahta, GUST
BUSRAH meninggal secara misterius, sedangkan putranya PANGERAN MAS masih
belum dewasa. PANGERAN MAS kemudian bergelar Panembahan SAUNAN. Selama
Pangeran MAS menambah ilmu keluar daerah, Pemerintahan dipegang oleh
Pangeran LAKSAMANA UTI MUKHSIN ( 1908 – 1924 ).
Sekembalinya
dari luar daerah, Pangeran MAS, diangkat naik tahta Kerajaan dengan
Gelar Panembahan Saunan. Beliau masih single. Keraton dirubahnya menurut
apa yang dilihatnuya dari daerah yang telah modern diwaktu itu. Keraton
tersebut masih berdiri hingga sekarang ini.
Kerajaan
Matan diperintahnya sejak tahun 1924 – 1943. Pemerintahannya berakhir
karena kekejaman Jepang. Salah seorang Raja yang terhisap korban
keganasan Jepang yang terkenal dengan sebutan “PENYUNGKUPAN”. Cara
penangkapan oleh Jepang, yaitu mereka menggunakan
kain berupa sarung menutupi kepala sampai mukanya. Seperti menggunakan
topi yang panjang menutupi langsung muka si yang dimaksud. Tapi
keterangan banyak orang yang melihatnya, bahwa beliau tak sempat
terbunuh oleh Jepang, katanya pada detik – detik rencana pengakapan
untuk jadi makanan pedang samurai Jepang, beliau menghilang dimalam
hari. Tak tahu kemana rimbanya hingga dewasa ini. Hilang secara
misterius.
Tahun
1945 – 1946 dikerajaan Matan diangkatlah 3 orang Pangeran untuk
mengatur Pemerintahan yang telah tersusun sebagai berikut :
- UTI HALIL diangkat menjadi Pangeran MANGKU NEGARA
- UTI APLAH diangkat menjadi Pangeran ADIPATI
- UTI KENCANA diangkat menjadi ANOM LAKSAMANA
Kemudian ketiga orang tersebut menjadi anggota majelis pemerintahan
Kerajaan Matan.
Wilayah Kekuasaan
Wilayah
Kerajaan Tanjungpura yang menurunkan Kerajaan Sukadana, Kerajaan Matan,
Kerajaan Simpang-Matan, dan Kerajaan Kayong-Matan, cukup sulit
dipetakan dengan pasti. Seperti yang telah dipaparkan di atas, pusat
pemerintahan Kerajaan Tanjungpura beberapa kali mengalami perpindahan.
Salah satu pusat pemerintahan Kerajaan Tanjungpura adalah di Negeri Baru
(disebut juga Benua Lama). Menurut beberapa sejarawan, Kota Baru
terletak di Ketapang, Kalimantan Barat. Kerajaan Tanjungpura sering
dikenal juga dengan nama Bakulapura dengan ibunegerinya di Tanjungpuri
(Mulia [ed.], 2007:5). Dari Negeri Baru, ibukota Kerajaan Tanjungpura
berpindah ke Sukadana hingga berdirinya kerajaan baru bernama Kerajaan Sukadana.
Kedudukan Kerajaan Tanjungpura Berdasarkan Peta Kuno Tahun 1602 yang Dibuat oleh Theodore de Bry.
Kerajaan
Sukadana telah merintis perluasan kekuasaannya pada masa pemerintahan
Panembahan Baroh (1548−1550) hingga ke daerah pedalaman Sungai Melano,
yaitu sampai ke sebuah desa bernama Desa Matan (sekarang bernama Desa
Batu Barat) yang kini termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Simpang Hilir,
Kabupaten Kayong Utara, Kalimantan Barat. Pengembangan wilayah
kekuasaan ini adalah juga dalam usaha mengembangkan agama Islam yang
telah masuk ke Sukadana. Perpindahan ini juga mempengaruhi arus
perpindahan penduduk Sukadana yang bermigrasi ke pedalaman, menyusuri
tepian Sungai Melano, Sungai Matan, Sungai Bayeh, dan bermukim di
Kampung Bukang, Banjor, Kembereh, Gerai, Kalam, Simpang Dua, hingga ke
daerah Balaiberkuak.
Meskipun
pusat pemerintahan Kerajaan Sukadana telah dipindahkan ke Desa Matan
sejak masa kepemimpinan Panembahan Baroh, namun nama Kerajaan Matan baru
dikenal pada era pemerintahan Sultan Muhammad Zainuddin (1665-1724),
yang menegaskan bahwa pusat kerajaan berada di daerah Sungai Matan
(Rahman, tt:110). Pada 1637, pusat pemerintahan Kerajaan Matan berpindah
lagi, kali ini ke Indra Laya yang terletak di Sungai Puye, anak Sungai
Pawan. Kemudian, kerajaan kembali berpindah ke Kartapura, kemudian baru
ke Desa Tanjungpura, dan terakhir pindah ke Muliakerta di mana Keraton
Muhammad Saunan sekarang berdiri.
Setelah
era pemerintahan Sultan Muhammad Jamaluddin (1762-1819), raja terakhir
Dinasti Matan, berakhir, pusat pemerintahan kerajaan dipindahkan ke
wilayah bernama Simpang, letaknya tidak seberapa jauh dari Matan, dan
nama kerajaannya pun berubah menjadi Kerajaan Simpang atau Kerajaan
Simpang-Matan karena kerajaan ini merupakan kelanjutan dari Kerajaan
Matan. Sebelumnya, Kerajaan Kayong-Matan sudah terlebih dulu berdiri
sebagai akibat dari perpecahan internal Kerajaan Matan. Maka kemudian
disepakatilah pembagian wilayah antara Kerajaan Simpang-Matan dan
Kerajaan Kayong-Matan dengan batas Sungai Pawan. Sebelah kiri Sungai
Pawan adalah wilayah Kerajaan Simpang-Matan sementara wilayah Kerajaan
Kayon-Matan adalah di sebelah kanan sungai. Adapun batas-batas daratnya
adalah sebagai berikut:
- Di daerah Kubing Sei. Laur (Penggenting Asah).
- Di Desa Baya (Kematanan Agol).
- Di hulu Sei. Laur (Tembenang Pantap).
Nama
Simpang-Matan digunakan karena kerajaan ini berada di persimpangan dua
sungai: satu cabang teletak di sebelah kanan Sungai Matan, dan cabang
lainnya berada di sebelah kiri Sungai Pagu di Lubuk Batu. Jarak antara
Kerajaan Simpang-Matan dan Kerajaan Kayong-Matan cukup dekat, dapat
ditempuh dalam waktu setengah hari.
4. Sistem Pemerintahan
Pendiri
Kerajaan Tanjungpura adalah Raja Brawijaya dari Majapahit. Dalam
menjalankan roda pemerintahan Kerajaan Tanjungpura, Raja Brawijaya
dibantu oleh lima saudaranya yang masing-masing didaulat mengampu lima
suku dengan pangkat, tugas, serta wewenang yang berbeda. Pertama adalah Maya Agung yang bertugas menerima setiap utusan yang datang ke kerajaan. Maya Agung merupakan
hulubalang pertama atau bertindak sebagai wakil raja yang diberi
kewenenangan menangani urusan-urusan besar, termasuk perang dan
menggelar upacara penobatan raja. Kedua adalah Mengkalang yang bertugas menangani hal-hal yang tidak bisa dilakukan raja dan Maya Agung. Suku ketiga dinamakan Priyayi atau Rerahi Muka Raja yang
menjalankan fungsinya sebagai pengisi kekosongan pemerintahan ketika
raja wafat dan belum ada penggantinya. Suku keempat adalah Siring yang menjadi pengiring raja dan pemegang pusaka raja. Terakhir adalah suku Mambal dengan
tugas sebagai penambal urusan-urusan raja, istana, adat, dan
sarana-sarana yang rusak. Kelima suku inilah yang berhak untuk
menyelenggarakan prosesi pengangkatan dan penobatan raja (Mulia [ed.],
2007:9).
Ketika
Kerajaan Tanjungpura berganti nama menjadi Kerajaan Sukadana, ajaran
Islam mulai masuk dan perlahan-lahan menggeser agama Buddha yang menjadi
keyakinan Brawijaya pada era Kerajaan Tanjungpura, kendati keluarga
kerajaan belum memeluk Islam. Perkembangan ajaran Islam yang dibawa
pedagang-pedagang Arab dari Palembang pada permulaan tahun 1500
bertambah pesat pada masa pemerintahan Panembahan Baroh, meski raja ini
juga belum memeluk Islam.
Pada
masa ini, penyebutan raja mulai diganti dengan gelar gusti. Gelar di
lingkungan kerajaan bukanlah menunjukkan kasta/kelas sosial, namun
cenderung merujuk pada ikatan kekerabatan yang menganut garis laki-laki
atau dari keturunan bapak (patriarki). Sementara, panembahan pertama
yang memeluk agama Islam adalah Giri Kesuma atau Gusti Aliuddin atau
Panembahan Sorgi (1590−1604) yang menggantikan Panembahan Baroh. Pada
masa inilah, keberadaan calon Kerajaan Matan sudah merintis pondasi dan
sudah mulai berperan di samping sisa-sisa kerajaan sebelumnya, yaitu
Kerajaan Sukadana, yang masih berdiri (De Graaf & Pigeaud,
1989:172).
Memasuki
pertengahan abad ke-18, penjajah Belanda mulai turut campur dalam
pemerintahan kerajaan pada masa Sultan Muhammad Jamaluddin yang menjadi
raja terakhir Kerajaan Matan sebelum mendirikan Kerajaan Simpang-Matan,
sementara Kerajaan Kayong-Matan berdiri di bawah pimpinan Gusti Irawan
dengan gelar Sultan Mangkurat. Belanda mulai membangun tangsi-tangsi
militer di wilayah Kerajaan Simpang-Matan serta menjadikan daerah
Sukadana sebagai basis kekuatan dan pertahanannya dalam menguasai
daerah-daerah pantai selatan di Kalimantan Barat.
Perkembangan
selanjutnya adalah Belanda kemudian mengadakan perjanjian dengan Sultan
Simpang-Matan dengan kedok menawarkan jasa kepada Sultan untuk
mengurusi wilayah Kerajaan Simpang-Matan yang terlalu luas. Tawaran ini
diterima oleh Sultan Muhammad Jamaluddin hingga akhirnya Belanda
berhasil menguasai Kerajaan Simpang-Matan. Sejak saat itu, pengaruh
Belanda semakin kuat dan selalu mencampuri urusan-urusan internal
kerajaan kendati beberapa kali terjadi perlawanan dari orang-orang
kerajaan untuk menangkal pengaruh Belanda, seperti perlawanan Gusti
Panji bergelar Panembahan Suryaningrat (raja keempat Kerajaan
Simpang-Matan), Patih Kampung Sepuncak (Hulubalang I), Uti Usma, Gusti
Muhammad Shalehan, Gusti Hamzah, dan lain-lainnya.
Istana Matan-Tanjungpura Sekarang
Pada
era pendudukan militer Jepang yang menggusur kolonialisme Belanda sejak
tahun 1942, rakyat serumpun Kerajaan Matan mengalami masa-masa mencekam
akibat kekejaman Jepang. Tanggal 23 April 1943, Jepang menangkap
raja-raja di Kalimantan Barat dan nyaris semuanya dibunuh. Gusti Mesir,
Sultan Kerajaan Simpang-Matan beruntung dapat lolos dari pembunuhan
massal itu. Akan tetapi, nasib tragis menimpa Gusti Muhammad Saunan,
yang memimpin Kerajaan Kayong-Matan sejak tahun 1922. Panembahan Matan
terakhir ini meninggal dunia tahun 1943 sebagai korban fasisme Jepang
(Rahman, 2000:22).
Setelah
Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, wilayah yang
semula di bawah kuasa kerajaan dihimpun dalam suatu daerah pemerintahan
yang disebut swapraja dan dibentuklah suatu majelis yang bernama Majelis
Pemerintahan Kerajaan Matan (MPKM) sebagai pengampu pemerintahan adat.
Pada akhirnya, seiring dengan terbentuknya pemerintahan di daerah-daerah
pascapenyerahan kedaulatan dari Belanda ke pemerintah Republik
Indonesia tahun 1949, wilayah kerajaan ini dilebur dan diserahterimakan
kepada Pemerintah Daerah Kalimantan Barat dengan dihapuskannya swapraja
berdasarkan Undang-Undang No. 27 tahun 1959 tertanggal 4 Juli 1959, dan
Instruksi Gubernur Kepala Daerah Provinsi Kalimantan Barat tertanggal 29
Februari 1960 No. 376/Pem-A/1-6.
Bagan Sislsilah Kerajaan
Setelah
Sultan Muhammad Zainuddin lengser, pemerintahan Kerajaan Matan
diteruskan oleh putranya yang bernama Gusti Kesuma Bandan dan bergelar
Sultan Muhammad Muazzuddin yang memerintah pada kurun 1724−1738. Sultan
Muhammad Muazzuddin memiliki tiga orang putra, yaitu Gusti Bendung,
Gusti Irawan, dan Gusti Muhammad Ali. Ketika Sultan Muhammad Muazzuddin
wafat, ditunjuklah Gusti Bendung atau Pangeran Ratu Agung sebagai
penerus tahta Kerajaan Matan dengan gelar Sultan Muhammad Tajuddin
(1738−1749). Sementara anak kedua Sultan Muhammad Muazzuddin, yaitu
Gusti Irawan, menjadi raja di Kayong (Muliakerta) dengan gelar Sultan
Mangkurat yang membawahi Kerajaan Kayong-Matan (sering pula disebut
sebagai Kerajaan Tanjungpura II).
Pada
kurun berikutnya (1749−1762), pemerintahan Matan dipegang oleh anak
tertua dari Sultan Muhammad Tajuddin yaitu Sultan Ahmad Kamaluddin yang
bernama asli Gusti Kencuran (Mulia [ed.], 2007:24). Terakhir, tahta
kuasa Kerajaan Matan diturunkan kepada Gusti Asma yang bergelar Sultan
Muhammad Jamaluddin (1762−1819). Sultan inilah yang menjadi raja
pamungkas Dinasti Matan karena setelah itu pusat pemerintahan
dipindahkan ke wilayah bernama Simpang yang letaknya tidak seberapa jauh
dari Matan, dan nama kerajaannya pun berubah menjadi Kerajaan Simpang
atau sering pula dikenal sebagai Kerajaan Simpang-Matan, karena kerajaan
ini merupakan kelanjutan dari Kerajaan Matan.
Dengan
demikian, terdapat dua kerajaan yang menyandang nama Matan, yaitu
Kerajaan Simpang-Matan di bawah komando Sultan Muhammad Jamaluddin, dan
Kerajaan Kayong-Matan yang dipimpin oleh Gusti Irawan atau Sultan
Mangkurat. Jika diurutkan, terdapat beberapa kerajaan yang merupakan
keturunan dari Kerajaan Tanjungpura, yaitu Kerajaan Sukadana, Kerajaan
Matan, Kerajaan Simpang-Matan, serta Kerajaan Kayong-Matan. Di antara
kerajaan-kerajaan tersebut masih terjalin hubungan kekerabatan yang
cukup erat kendati masih sering terjadi pasang surut karena beberapa
sebab perselisihan dan campur tangan penjajah Belanda.
Silsilah Raja-Raja
Dalam
melacak jejak raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Matan, patut
diketahui pula silsilah raja-raja Kerajaan Tanjungpura karena kedua
kerajaan ini sebenarnya masih dalam satu rangkaian riwayat panjang.
Berhubung terdapat beberapa versi tentang sejarah dan silsilah raja-raja
Tanjungpura beserta kerajaan-kerajaan lain yang masih satu rangkaian
dengannya, maka berikut ini dipaparkan silsilahnya menurut salah satu
versi, yaitu berdasarkan buku Sekilas Menapak Langkah Kerajaan Tanjungpura (2007) suntingan Drs H Gusti Mhd. Mulia:
Kerajaan Tanjungpura
1. Brawijaya (1454−1472).
2. Bapurung (1472−1487).
3. Panembahan Karang Tanjung (1487−1504).
Pada
masa pemerintahan Panembahan Karang Tanjung, pusat Kerajaan Tanjungpura
yang semula berada di Negeri Baru dipindahkan ke Sukadana, dengan
demikian nama kerajaannya pun berubah menjadi Kerajaan Sukadana.
Kerajaan Sukadana
1. Panembahan Karang Tanjung (1487−1504).
2. Gusti Syamsudin atau Pundong Asap atau Panembahan Sang Ratu Agung (1504−1518).
3. Gusti Abdul Wahab atau Panembahan Bendala (1518−1533).
4. Panembahan Pangeran Anom (1526−1533).
5. Panembahan Baroh (1533−1590).
6. Gusti Aliuddin atau Giri Kesuma atau Panembahan Sorgi (1590−1604).
7. Ratu Mas Jaintan (1604−1622).
8. Gusti Kesuma Matan atau Giri Mustika atau Sultan Muhammad Syaifuddin (1622−1665).
Inilah raja terakhir Kerajaan Sukadana sekaligus raja pertama dari Kerajaan Tanjungpura yang memeluk agama Islam.
Kerajaan Matan
1. Gusti Jakar Kencana atau Sultan Muhammad Zainuddin (1665−1724).
2. Gusti Kesuma Bandan atau Sultan Muhammad Muazzuddin (1724−1738).
3. Gusti Bendung atau Pangeran Ratu Agung atau Sultan Muhammad Tajuddin (1738−1749).
4. Gusti Kencuran atau Sultan Ahmad Kamaluddin (1749−1762).
5. Gusti Asma atau Sultan Muhammad Jamaluddin (1762−1819).
Gusti
Asma adalah raja terakhir Kerajaan Matan dan pada masa pemerintahannya,
pusat pemerintahan Kerajaan Matan dialihkan ke Simpang, dan nama
kerajaannya pun berganti menjadi Kerajaan Simpang atau Kerajaan
Simpang-Matan.
Kerajaan Simpang-Matan
1. Gusti Asma atau Sultan Muhammad Jamaluddin (1762−1819).
2. Gusti Mahmud atau Panembahan Anom Suryaningrat (1819−1845).
3. Gusti Muhammad Roem atau Panembahan Anom Kesumaningrat (1845−1889).
4. Gusti Panji atau Panembahan Suryaningrat (1889−1920).
5. Gusti Roem atau Panembahan Gusti Roem (1912−1942).
6. Gusti Mesir atau Panembahan Gusti Mesir (1942−1943).
7. Gusti Ibrahim (1945).
|
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusTerimakasih banyak..melalui blog ini saya merasa terbantu untuk sebagai bahan menyelesaikan tugas kuliah saya.😍👍👍
BalasHapusIzin copas ya kak
BalasHapus