Sejarah kerajaan ketapang/KERATON MATAN TANJUNG PURA

Kabupaten Ketapang adalah salah satu kabupaten yang terdapat di Kalimantan Barat. Kabupaten Ketapang memiliki luas wilayah 35.809 km².
Kabupaten Ketapang terletak di antara garis 0º 19’00” - 3º 05’ 00” Lintang Selatan dan 108º 42’ 00” - 111º 16’ 00” Bujur Timur. Dibandingkan kabupaten lain di Kalimantan Barat, Kabupaten Ketapang merupakan kabupaten terluas, memiliki pantai yang memanjang dari selatan ke utara dan sebagian pantai yang merupakan muara sungai, berupa rawa-rawa terbentang mulai dari Kecamatan Teluk Batang, Simpang Hilir, Sukadana, Matan Hilir Utara, Matan Hilir Selatan, Kendawangan dan Pulau Maya Karimata, sedangkan daerah hulu umumnya berupa daratan yang berbukit-bukit dan diantaranya masih merupakan hutan.

Sungai terpanjang di Kabupaten Ketapang adalah Sungai Pawan yang menghubungkan Kota Ketapang dengan Kecamatan Sandai, Nanga Tayap dan Sungai Laur serta merupakan urat nadi penghubung kegiatan ekonomi masyarakat dari desa dengan kecamatan dan kabupaten.(Sumber Wikipedia )

Sejarah Kabupaten Ketapang

Masa pemerintahan Hindia Belanda
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, sejak tahun 1936 Kabupaten Ketapang adalah salah satu daerah (afdeling) yang merupakan bagian dari Keresidenan Kalimantan Barat (Residente Western Afdeling van Borneo) dengan pusat pemerintahannya di Pontianak. Kabupaten Ketapang ketika itu dibagi menjadi tiga Onder Afdeling, yaitu:
Sukadana, berkedudukan di Sukadana
Matan Hilir, berkedudukan di Ketapang
Matan Hulu, berkedudukan di Nanga Tayap
Masing-masing Onder Afdeling dipimpin oleh seorang Wedana.
Tiap-tiap Onder Afdeling dibagi lagi menjadi Onder Distrik, yaitu:
Sukadana terdiri dari Onder Distrik Sukadana, Simpang Hilir dan Simpang Hulu
Matan Hilir terdiri dari Onder Distrik Matan Hilir dan Kendawangan
Matan Hulu terdiri dari Onder Distrik Sandai, Nanga Tayap, Tumbang Titi dan Marau
Masing-masing Onder Distrik dipimpin oleh seorang Asisten Wedana.
Afdeling Ketapang terdiri atas tiga kerajaan, yaitu:
Kerajaan Matan yang membawahi Onder Afdeling Matan Hilir dan Matan Hulu
Kerajaan Sukadana yang membawahi Onder Distrik Sukadana
Kerajaan Simpang yang membawahi Onder Distrik Simpang Hilir dan Simpang Hulu
Masing-masing kerajaan dipimpin oleh seorang Panembahan. Sampai tahun 1942, wilayah-wilayah ini dipimpin oleh:
Kerajaan Matan oleh Gusti Muhammad Saunan
Kerajaan Sukadana oleh Tengku Betung
Kerajaan Simpang oleh Gusti Mesir. ( Sumber Wikipedia )

Keraton Kerajaan Matan Ketapang.

Keraton Kerajaan Matan Ketapang ini letak nya sangat strategis karena berada di pinggir jalan raya sehingga sangat mudah untuk di capai. Keraton Kerajaan Matan ini terletak di Jalan P.Kesuma Jaya. Kel. Mulya Kerta tidak jauh dari Mulya Baru.





Keraton ini memiliki arsitektur yang unik dengan warna kuning di setiap dinding keraton ini. Selain itu area di sekitar keraton juga bersih. Ketika sore keraton ini sudah mulai di tutup dengan pagar besi nya. Karena berada di pinggir jalan, untuk menjangkau lokasi keraton ini tidak terlalu sulit. Jikalau dari Mulya Baru menuju pasar Ketapang, melewati Jembatan pawan setelah itu baru sampai pada gerbang yang menandakan memasuki area keraton. Sebelum melewati Keraton terdapat 2 Gapura, Sebelum melewati Keraton dan sesudah melewati Keraton. Gapura ini juga bewarna kuning dengan atap yang terbuat dari kayu.

Keraton terlihat dari Pinggir Jalan


http://i876.photobucket.com/albums/ab324/abyumy/kerajaan%20matan/matan1.jpg?t=1268128758
Istana Matan-Tanjungpura Tahun 1977
Latar Belakang
Kerajaan Matan yang sekarang berada di Ketapang, Kalimantan Barat, merupakan bagian dari jajaran kerajaan Melayu yang terdapat di Pulau Kalimantan. Sejarah dan asal-usul Kerajaan Matan sendiri cukup rumit karena kerajaan ini merupakan kelanjutan riwayat dari Kerajaan Tanjungpura yang kemudian melahirkan dua kerajaan turunan, yaitu Kerajaan Sukadana dan Kerajaan Matan. Oleh karena dilanda konflik internal yang berujung pada perebutan kekuasaan, Kerajaan Matan kemudian terbagi menjadi dua, yakni Kerajaan Simpang-Matan dan Kerajaan Kayong-Matan. Di sisi lain, Kerajaan Sukadana, sebagai penerus pertama Kerajaan Tanjungpura, masih tetap eksis di samping geliat dua kerajaan pecahan Kerajaan Matan tersebut. Kerajaan Tanjungpura sendiri pada awalnya merupakan kerajaan yang didirikan oleh Brawijaya yang berasal dari Kerajaan Majapahit di Jawa. Pada masa Brawijaya, Kerajaan Tanjungpura sempat menjadi kerajaan besar pada zaman Hindu-Buddha di bumi Borneo.
Kerajaan Tanjungpura mengalami masa keemasan pada sekitar abad ke-14. Kerajaan ini adalah kerajaan tertua di Tanah Kayong. Nama Tanah Kayong digunakan untuk menyebut Ketapang yang terkenal sebagai tanah asal orang-orang sakti. Dari riwayat sejarah Kerajaan Tanjungpura inilah asal-usul peradaban Kerajaan Matan turut tergurat. Sumber yang menyatakan tentang keberadaan Kerajaan Tanjungpura dapat dibaca dalam Negarakertagama karangan Mpu Prapanca pada masa Kertanegara (1268—1292) dari Singosari dan pada masa Kerajaan Majapahit dengan Sumpah Palapa Patih Mangkubumi Gajah Mada (Gusti Mhd. Mulia [ed.], 2007:1).
Ibukota Kerajaan Tanjungpura beberapa kali mengalami perpindahan dari satu tempat ke tempat lainnya. Beberapa penyebab Kerajaan Tanjungpura berpindah ibukota adalah terutama karena serangan dari kawanan perompak (bajak laut) atau dikenal sebagai “Lanon”. Konon, di masa itu sepak-terjang gerombolan “Lanon” sangat kejam dan meresahkan penduduk. Kerajaan Tanjungpura sering beralih pusat pemerintahan adalah demi mempertahankan diri karena sering mendapat serangan dari kerajaan lain. Kerap berpindah-pindahnya ibukota Kerajaan Tanjungpura dibuktikan dengan adanya situs sejarah yang ditemukan di bekas ibukota-ibukota kerajaan tersebut.
Negeri Baru di Ketapang merupakan salah satu tempat yang pernah dijadikan pusat pemerintahan Kerajaan Tanjungpura. Dari Negeri Baru, ibukota Kerajaan Tanjungpura berpindah ke Sukadana. Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Zainuddin (1665−1724), pusat istana bergeser lagi, kali ini ditempatkan di daerah Sungai Matan (Ansar Rahman, tt:110). Dari sinilah riwayat Kerajaan Matan dimulai. Seorang penulis Belanda menyebut wilayah itu sebagai Kerajaan Matan, kendati sesungguhnya nama kerajaan tersebut pada waktu itu masih bernama Kerajaan Tanjungpura (Mulia [ed.], 2007:5). Pusat pemerintahan kerajaan ini kemudian berpindah lagi yakni pada 1637 di wilayah Indra Laya. Indra Laya adalah nama dari suatu tempat di tepian Sungai Puye, anak Sungai Pawan. Kerajaan Tanjungpura kembali beringsut ke Kartapura, kemudian ke Desa Tanjungpura, dan terakhir pindah lagi ke Muliakerta di mana Keraton Muhammad Saunan sekarang berdiri.
Setelah raja pendiri kota Kerajaan Tanjungpura wafat dan dimakamkan di Kota Tanjungpura , pemerintahannya dilanjutkan oleh Pangerang Perdana Menteri ( Pangeran Jaya Anom ) ( 1833 – 1845 ). Tahun 1845, sebagai Pengganti Pangeran, Perdana Menteri dinobatkanlah Haji Muhammad Sabran. Panembahan ini pulalah memindahkan pusat pemerintahannya ke Mulia Kerta ( 1876 )
Padanya diberkahi 3 putra dengan nama masing – masing :
_ Gusti Solihin
Bergelar PANGERAN BENDAHARA
_ Uti Mukhsin
Bergelar PANGERAN LAKSAMANA
_ Gusti Busrah
Bergelar PANGERAN RATU
Semasa hidupnya, Penembahan Haji Sabran, telah ditunjuk beliau putera mahkota GUSTI BUSRAH sebagai gantinya. Tetapi sayang, sebelum naik tahta, GUST BUSRAH meninggal secara misterius, sedangkan putranya PANGERAN MAS masih belum dewasa. PANGERAN MAS kemudian bergelar Panembahan SAUNAN. Selama Pangeran MAS menambah ilmu keluar daerah, Pemerintahan dipegang oleh Pangeran LAKSAMANA UTI MUKHSIN ( 1908 – 1924 ).
Sekembalinya dari luar daerah, Pangeran MAS, diangkat naik tahta Kerajaan dengan Gelar Panembahan Saunan. Beliau masih single. Keraton dirubahnya menurut apa yang dilihatnuya dari daerah yang telah modern diwaktu itu. Keraton tersebut masih berdiri hingga sekarang ini.
Kerajaan Matan diperintahnya sejak tahun 1924 – 1943. Pemerintahannya berakhir karena kekejaman Jepang. Salah seorang Raja yang terhisap korban keganasan Jepang yang terkenal dengan sebutan “PENYUNGKUPAN”. Cara penangkapan oleh Jepang, yaitu mereka menggunakan kain berupa sarung menutupi kepala sampai mukanya. Seperti menggunakan topi yang panjang menutupi langsung muka si yang dimaksud. Tapi keterangan banyak orang yang melihatnya, bahwa beliau tak sempat terbunuh oleh Jepang, katanya pada detik – detik rencana pengakapan untuk jadi makanan pedang samurai Jepang, beliau menghilang dimalam hari. Tak tahu kemana rimbanya hingga dewasa ini. Hilang secara misterius.
Tahun 1945 – 1946 dikerajaan Matan diangkatlah 3 orang Pangeran untuk mengatur Pemerintahan yang telah tersusun sebagai berikut :
- UTI HALIL diangkat menjadi Pangeran MANGKU NEGARA
- UTI APLAH diangkat menjadi Pangeran ADIPATI
- UTI KENCANA diangkat menjadi ANOM LAKSAMANA
Kemudian ketiga orang tersebut menjadi anggota majelis pemerintahan
Kerajaan Matan.
Wilayah Kekuasaan
Wilayah Kerajaan Tanjungpura yang menurunkan Kerajaan Sukadana, Kerajaan Matan, Kerajaan Simpang-Matan, dan Kerajaan Kayong-Matan, cukup sulit dipetakan dengan pasti. Seperti yang telah dipaparkan di atas, pusat pemerintahan Kerajaan Tanjungpura beberapa kali mengalami perpindahan. Salah satu pusat pemerintahan Kerajaan Tanjungpura adalah di Negeri Baru (disebut juga Benua Lama). Menurut beberapa sejarawan, Kota Baru terletak di Ketapang, Kalimantan Barat. Kerajaan Tanjungpura sering dikenal juga dengan nama Bakulapura dengan ibunegerinya di Tanjungpuri (Mulia [ed.], 2007:5). Dari Negeri Baru, ibukota Kerajaan Tanjungpura berpindah ke Sukadana hingga berdirinya kerajaan baru bernama Kerajaan Sukadana.
matan2.jpg picture by abyumy
Kedudukan Kerajaan Tanjungpura Berdasarkan Peta Kuno Tahun 1602 yang Dibuat oleh Theodore de Bry.

Kerajaan Sukadana telah merintis perluasan kekuasaannya pada masa pemerintahan Panembahan Baroh (1548−1550) hingga ke daerah pedalaman Sungai Melano, yaitu sampai ke sebuah desa bernama Desa Matan (sekarang bernama Desa Batu Barat) yang kini termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Simpang Hilir, Kabupaten Kayong Utara, Kalimantan Barat. Pengembangan wilayah kekuasaan ini adalah juga dalam usaha mengembangkan agama Islam yang telah masuk ke Sukadana. Perpindahan ini juga mempengaruhi arus perpindahan penduduk Sukadana yang bermigrasi ke pedalaman, menyusuri tepian Sungai Melano, Sungai Matan, Sungai Bayeh, dan bermukim di Kampung Bukang, Banjor, Kembereh, Gerai, Kalam, Simpang Dua, hingga ke daerah Balaiberkuak.
Meskipun pusat pemerintahan Kerajaan Sukadana telah dipindahkan ke Desa Matan sejak masa kepemimpinan Panembahan Baroh, namun nama Kerajaan Matan baru dikenal pada era pemerintahan Sultan Muhammad Zainuddin (1665-1724), yang menegaskan bahwa pusat kerajaan berada di daerah Sungai Matan (Rahman, tt:110). Pada 1637, pusat pemerintahan Kerajaan Matan berpindah lagi, kali ini ke Indra Laya yang terletak di Sungai Puye, anak Sungai Pawan. Kemudian, kerajaan kembali berpindah ke Kartapura, kemudian baru ke Desa Tanjungpura, dan terakhir pindah ke Muliakerta di mana Keraton Muhammad Saunan sekarang berdiri.
Setelah era pemerintahan Sultan Muhammad Jamaluddin (1762-1819), raja terakhir Dinasti Matan, berakhir, pusat pemerintahan kerajaan dipindahkan ke wilayah bernama Simpang, letaknya tidak seberapa jauh dari Matan, dan nama kerajaannya pun berubah menjadi Kerajaan Simpang atau Kerajaan Simpang-Matan karena kerajaan ini merupakan kelanjutan dari Kerajaan Matan. Sebelumnya, Kerajaan Kayong-Matan sudah terlebih dulu berdiri sebagai akibat dari perpecahan internal Kerajaan Matan. Maka kemudian disepakatilah pembagian wilayah antara Kerajaan Simpang-Matan dan Kerajaan Kayong-Matan dengan batas Sungai Pawan. Sebelah kiri Sungai Pawan adalah wilayah Kerajaan Simpang-Matan sementara wilayah Kerajaan Kayon-Matan adalah di sebelah kanan sungai. Adapun batas-batas daratnya adalah sebagai berikut:
  1. Di daerah Kubing Sei. Laur (Penggenting Asah).
  2. Di Desa Baya (Kematanan Agol).
  3. Di hulu Sei. Laur (Tembenang Pantap).
Nama Simpang-Matan digunakan karena kerajaan ini berada di persimpangan dua sungai: satu cabang teletak di sebelah kanan Sungai Matan, dan cabang lainnya berada di sebelah kiri Sungai Pagu di Lubuk Batu. Jarak antara Kerajaan Simpang-Matan dan Kerajaan Kayong-Matan cukup dekat, dapat ditempuh dalam waktu setengah hari.
4. Sistem Pemerintahan
Pendiri Kerajaan Tanjungpura adalah Raja Brawijaya dari Majapahit. Dalam menjalankan roda pemerintahan Kerajaan Tanjungpura, Raja Brawijaya dibantu oleh lima saudaranya yang masing-masing didaulat mengampu lima suku dengan pangkat, tugas, serta wewenang yang berbeda. Pertama adalah Maya Agung yang bertugas menerima setiap utusan yang datang ke kerajaan. Maya Agung merupakan hulubalang pertama atau bertindak sebagai wakil raja yang diberi kewenenangan menangani urusan-urusan besar, termasuk perang dan menggelar upacara penobatan raja. Kedua adalah Mengkalang yang bertugas menangani hal-hal yang tidak bisa dilakukan raja dan Maya Agung. Suku ketiga dinamakan Priyayi atau Rerahi Muka Raja yang menjalankan fungsinya sebagai pengisi kekosongan pemerintahan ketika raja wafat dan belum ada penggantinya. Suku keempat adalah Siring yang menjadi pengiring raja dan pemegang pusaka raja. Terakhir adalah suku Mambal dengan tugas sebagai penambal urusan-urusan raja, istana, adat, dan sarana-sarana yang rusak. Kelima suku inilah yang berhak untuk menyelenggarakan prosesi pengangkatan dan penobatan raja (Mulia [ed.], 2007:9).
Ketika Kerajaan Tanjungpura berganti nama menjadi Kerajaan Sukadana, ajaran Islam mulai masuk dan perlahan-lahan menggeser agama Buddha yang menjadi keyakinan Brawijaya pada era Kerajaan Tanjungpura, kendati keluarga kerajaan belum memeluk Islam. Perkembangan ajaran Islam yang dibawa pedagang-pedagang Arab dari Palembang pada permulaan tahun 1500 bertambah pesat pada masa pemerintahan Panembahan Baroh, meski raja ini juga belum memeluk Islam.
Pada masa ini, penyebutan raja mulai diganti dengan gelar gusti. Gelar di lingkungan kerajaan bukanlah menunjukkan kasta/kelas sosial, namun cenderung merujuk pada ikatan kekerabatan yang menganut garis laki-laki atau dari keturunan bapak (patriarki). Sementara, panembahan pertama yang memeluk agama Islam adalah Giri Kesuma atau Gusti Aliuddin atau Panembahan Sorgi (1590−1604) yang menggantikan Panembahan Baroh. Pada masa inilah, keberadaan calon Kerajaan Matan sudah merintis pondasi dan sudah mulai berperan di samping sisa-sisa kerajaan sebelumnya, yaitu Kerajaan Sukadana, yang masih berdiri (De Graaf & Pigeaud, 1989:172).
Memasuki pertengahan abad ke-18, penjajah Belanda mulai turut campur dalam pemerintahan kerajaan pada masa Sultan Muhammad Jamaluddin yang menjadi raja terakhir Kerajaan Matan sebelum mendirikan Kerajaan Simpang-Matan, sementara Kerajaan Kayong-Matan berdiri di bawah pimpinan Gusti Irawan dengan gelar Sultan Mangkurat. Belanda mulai membangun tangsi-tangsi militer di wilayah Kerajaan Simpang-Matan serta menjadikan daerah Sukadana sebagai basis kekuatan dan pertahanannya dalam menguasai daerah-daerah pantai selatan di Kalimantan Barat.
Perkembangan selanjutnya adalah Belanda kemudian mengadakan perjanjian dengan Sultan Simpang-Matan dengan kedok menawarkan jasa kepada Sultan untuk mengurusi wilayah Kerajaan Simpang-Matan yang terlalu luas. Tawaran ini diterima oleh Sultan Muhammad Jamaluddin hingga akhirnya Belanda berhasil menguasai Kerajaan Simpang-Matan. Sejak saat itu, pengaruh Belanda semakin kuat dan selalu mencampuri urusan-urusan internal kerajaan kendati beberapa kali terjadi perlawanan dari orang-orang kerajaan untuk menangkal pengaruh Belanda, seperti perlawanan Gusti Panji bergelar Panembahan Suryaningrat (raja keempat Kerajaan Simpang-Matan), Patih Kampung Sepuncak (Hulubalang I), Uti Usma, Gusti Muhammad Shalehan, Gusti Hamzah, dan lain-lainnya.
http://i876.photobucket.com/albums/ab324/abyumy/kerajaan%20matan/matan3.jpg?t=1268129042
Istana Matan-Tanjungpura Sekarang
Pada era pendudukan militer Jepang yang menggusur kolonialisme Belanda sejak tahun 1942, rakyat serumpun Kerajaan Matan mengalami masa-masa mencekam akibat kekejaman Jepang. Tanggal 23 April 1943, Jepang menangkap raja-raja di Kalimantan Barat dan nyaris semuanya dibunuh. Gusti Mesir, Sultan Kerajaan Simpang-Matan beruntung dapat lolos dari pembunuhan massal itu. Akan tetapi, nasib tragis menimpa Gusti Muhammad Saunan, yang memimpin Kerajaan Kayong-Matan sejak tahun 1922. Panembahan Matan terakhir ini meninggal dunia tahun 1943 sebagai korban fasisme Jepang (Rahman, 2000:22).
Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, wilayah yang semula di bawah kuasa kerajaan dihimpun dalam suatu daerah pemerintahan yang disebut swapraja dan dibentuklah suatu majelis yang bernama Majelis Pemerintahan Kerajaan Matan (MPKM) sebagai pengampu pemerintahan adat. Pada akhirnya, seiring dengan terbentuknya pemerintahan di daerah-daerah pascapenyerahan kedaulatan dari Belanda ke pemerintah Republik Indonesia tahun 1949, wilayah kerajaan ini dilebur dan diserahterimakan kepada Pemerintah Daerah Kalimantan Barat dengan dihapuskannya swapraja berdasarkan Undang-Undang No. 27 tahun 1959 tertanggal 4 Juli 1959, dan Instruksi Gubernur Kepala Daerah Provinsi Kalimantan Barat tertanggal 29 Februari 1960 No. 376/Pem-A/1-6. 
 Bagan Sislsilah Kerajaan
http://i876.photobucket.com/albums/ab324/abyumy/kerajaan%20matan/matan4.jpg?t=1268129156

Setelah Sultan Muhammad Zainuddin lengser, pemerintahan Kerajaan Matan diteruskan oleh putranya yang bernama Gusti Kesuma Bandan dan bergelar Sultan Muhammad Muazzuddin yang memerintah pada kurun 1724−1738. Sultan Muhammad Muazzuddin memiliki tiga orang putra, yaitu Gusti Bendung, Gusti Irawan, dan Gusti Muhammad Ali. Ketika Sultan Muhammad Muazzuddin wafat, ditunjuklah Gusti Bendung atau Pangeran Ratu Agung sebagai penerus tahta Kerajaan Matan dengan gelar Sultan Muhammad Tajuddin (1738−1749). Sementara anak kedua Sultan Muhammad Muazzuddin, yaitu Gusti Irawan, menjadi raja di Kayong (Muliakerta) dengan gelar Sultan Mangkurat yang membawahi Kerajaan Kayong-Matan (sering pula disebut sebagai Kerajaan Tanjungpura II).
Pada kurun berikutnya (1749−1762), pemerintahan Matan dipegang oleh anak tertua dari Sultan Muhammad Tajuddin yaitu Sultan Ahmad Kamaluddin yang bernama asli Gusti Kencuran (Mulia [ed.], 2007:24). Terakhir, tahta kuasa Kerajaan Matan diturunkan kepada Gusti Asma yang bergelar Sultan Muhammad Jamaluddin (1762−1819). Sultan inilah yang menjadi raja pamungkas Dinasti Matan karena setelah itu pusat pemerintahan dipindahkan ke wilayah bernama Simpang yang letaknya tidak seberapa jauh dari Matan, dan nama kerajaannya pun berubah menjadi Kerajaan Simpang atau sering pula dikenal sebagai Kerajaan Simpang-Matan, karena kerajaan ini merupakan kelanjutan dari Kerajaan Matan.
Dengan demikian, terdapat dua kerajaan yang menyandang nama Matan, yaitu Kerajaan Simpang-Matan di bawah komando Sultan Muhammad Jamaluddin, dan Kerajaan Kayong-Matan yang dipimpin oleh Gusti Irawan atau Sultan Mangkurat. Jika diurutkan, terdapat beberapa kerajaan yang merupakan keturunan dari Kerajaan Tanjungpura, yaitu Kerajaan Sukadana, Kerajaan Matan, Kerajaan Simpang-Matan, serta Kerajaan Kayong-Matan. Di antara kerajaan-kerajaan tersebut masih terjalin hubungan kekerabatan yang cukup erat kendati masih sering terjadi pasang surut karena beberapa sebab perselisihan dan campur tangan penjajah Belanda.
Silsilah Raja-Raja
Dalam melacak jejak raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Matan, patut diketahui pula silsilah raja-raja Kerajaan Tanjungpura karena kedua kerajaan ini sebenarnya masih dalam satu rangkaian riwayat panjang. Berhubung terdapat beberapa versi tentang sejarah dan silsilah raja-raja Tanjungpura beserta kerajaan-kerajaan lain yang masih satu rangkaian dengannya, maka berikut ini dipaparkan silsilahnya menurut salah satu versi, yaitu berdasarkan buku Sekilas Menapak Langkah Kerajaan Tanjungpura (2007) suntingan Drs H Gusti Mhd. Mulia:
Kerajaan Tanjungpura
1. Brawijaya (1454−1472).
2. Bapurung (1472−1487).
3. Panembahan Karang Tanjung (1487−1504).
Pada masa pemerintahan Panembahan Karang Tanjung, pusat Kerajaan Tanjungpura yang semula berada di Negeri Baru dipindahkan ke Sukadana, dengan demikian nama kerajaannya pun berubah menjadi Kerajaan Sukadana.
Kerajaan Sukadana
1. Panembahan Karang Tanjung (1487−1504).
2. Gusti Syamsudin atau Pundong Asap atau Panembahan Sang Ratu Agung (1504−1518).
3. Gusti Abdul Wahab atau Panembahan Bendala (1518−1533).
4. Panembahan Pangeran Anom (1526−1533).
5. Panembahan Baroh (1533−1590).
6. Gusti Aliuddin atau Giri Kesuma atau Panembahan Sorgi (1590−1604).
7. Ratu Mas Jaintan (1604−1622).
8. Gusti Kesuma Matan atau Giri Mustika atau Sultan Muhammad Syaifuddin (1622−1665).
Inilah raja terakhir Kerajaan Sukadana sekaligus raja pertama dari Kerajaan Tanjungpura yang memeluk agama Islam.
Kerajaan Matan
1. Gusti Jakar Kencana atau Sultan Muhammad Zainuddin (1665−1724).
2. Gusti Kesuma Bandan atau Sultan Muhammad Muazzuddin (1724−1738).
3. Gusti Bendung atau Pangeran Ratu Agung atau Sultan Muhammad Tajuddin (1738−1749).
4. Gusti Kencuran atau Sultan Ahmad Kamaluddin (1749−1762).
5. Gusti Asma atau Sultan Muhammad Jamaluddin (1762−1819).
Gusti Asma adalah raja terakhir Kerajaan Matan dan pada masa pemerintahannya, pusat pemerintahan Kerajaan Matan dialihkan ke Simpang, dan nama kerajaannya pun berganti menjadi Kerajaan Simpang atau Kerajaan Simpang-Matan.
Kerajaan Simpang-Matan
1. Gusti Asma atau Sultan Muhammad Jamaluddin (1762−1819).
2. Gusti Mahmud atau Panembahan Anom Suryaningrat (1819−1845).
3. Gusti Muhammad Roem atau Panembahan Anom Kesumaningrat (1845−1889).
4. Gusti Panji atau Panembahan Suryaningrat (1889−1920).
5. Gusti Roem atau Panembahan Gusti Roem (1912−1942).
6. Gusti Mesir atau Panembahan Gusti Mesir (1942−1943).
7. Gusti Ibrahim (1945).

Komentar

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Terimakasih banyak..melalui blog ini saya merasa terbantu untuk sebagai bahan menyelesaikan tugas kuliah saya.😍👍👍

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

INI LAH KERAJAAN SINTANG

Keindahan Selat Karimata